Senin, 04 Februari 2013

Kotamu Kotaku, Kota Tua

Silam,, jutaan impian kita labuhkan di kota pasir ini. Mencatat nama abadi sebagai saksi perjuangan. Kita tak punya apa, selain cara untuk mencatat sejarah istimewa. Untuk kemudian dinikmati anak cucu kita.

Sebelum kita berlalu, kota tua tempat kita berteduh, selalu tak ingin jauh. Kota tua muara kita, tempat menghabiskan senja dengan gurau pasir jenaka. Menjajaki kaki malam melawan rindu jumpa orang tua. Setiap sudut kota, ada saksi sendu kita. Setiap lipatan kota, kita simpan memori dengan nuansa berbeda. Kota tua, kotamu juga kotaku. Tujuanku, juga tujuanmu.

Tuan.!!
Sekarang, kota tua bagiku kawah bencana. Kota tua serupa pencabut nyawa. Hampir merenggut sisa waktuku sebelum saatnya tiba. Mungkin ia bosan menyaksikan kebisuanku, kerap diam menikmati diri sebagai pemuja.

Tuan.!! Kamu bersembunyi di balik kehancuran. Pura indah di mata, manis tersenyum, lembut bertutur, syahdu memandang, mengajak aku hanyut dalam genggaman.
Bertahun-tahun Tuan membenciku dengan kelembutan, dan sekarang Tuan habiskan semua cacian, tumpah meruah dihadapanku.
Sebut saja aku ini najis yang diizalkan, atau sampah yang dihinakan, atau bangkai yang dihindarkan saat Tuan tinggalkan.
Haruskah ku sebut peti mati?, hati Tuan tempat bersemanyam itu. Terlalu lama Tuan menyembunyikan aku disana. Terlambat,!!

Yaa,, jejak bukan perkara bagi Tuan. Kebebasan tujuan utama hidup Tuan.
Tak pedulu perihku saat Tuan gol-kan aku di kandang kehancuran.
Tuan ingin bahagia, tapi menitipkan derita..
Segera Tuan ambil, sangat membebani bila Tuan tak ingin mengambilnya kembali.
Aku mohon Tuan, mohon.!

Kota Tua, rentan dengan kekhawatiran. Bukan sebentar aku disulapnya wanita tak berdaya.
Kerap menitikkan kutukan dan ingin segera beranjak meninggalkan.
Aku rindu memujinya, rindu bisikan debunya, rindu aroma bisingnya, rindu menjajaki malam bersama penghuni tunggalnya.

Tuan, aku di kotamu, mana sapamu?.

Jumat, 12 Oktober 2012

Sebagai apa aku hadir?


Dari sudut “kun fa yakun” lah aku lahir menjadi ‘Satu’. Satu dari sekian yang dikehendaki ALLAH untuk berdiri menjadi makhluk. Satu bukan berarti satu-satunya. Tapi, Satu kesatuan utuh yang dibekali fitrah lahir dan batin. Aku tercipta atas nama cinta Sang Pencinta, tercatat dalam gudang takdir  lauhul mahfudz.
 
Aku diutus ke dunia untuk menemui do’a dua insan yang sudah menegakkan separuh agamanya. Tak lain, mereka adalah sepasang dara yang saling mengikat waktu untuk melengkapi lembaran hidup dengan ketaatan pada ALLAH. Aku diturunkan untuk menjadi jawaban atas janji ALLAH “Ud’uuni astajib lakum”.  Karena aku selalu dihadirkan dalam tiap simpuh yang menggumam bersama air mata permohonan mereka. Aku adalah kebangkitan dari setiap penantiannya yang terhimpun dalam sujud dan bermuara di dinding kiblat.  Akulah jawaban, dan do’a mereka adalah jalan pengantarku menuju dunia.
 
Aku sebagai kabar gembira yang dikirimkan ALLAH kepada kedua orang yang beriman, tentang buah cinta yang bertaut dalam ridhaNYA. Sebuah persembahan mulia untuk membedakan mana yang saling memiliki atas restu ALLAH dengan yang tanpa restuNYA. Aku adalah mimpi yang berwujud nyata, karena aku diciptakan sebagai anak manusia. Aku terlahir sangat kecil, tapi aku serupa besar bagi mereka. Karena aku adalah ‘amanah’ yang tertancap di pundak, harus dipedulikan, dibesarkan hingga sampai pada saatnya aku mengenali siapa Pencipta alam semesta.
Aku adalah jiwa yang digenggam tatapan kasih sayang, begitu hangat dan dalam. Karena, bagi mereka aku penyempurna langkah menuju tepi, menghapus keraguan  terhadap semesta. Aku ditetapkan sebagai penyebab kebahagiaan, menjadi pendahulu cita-cita baru mereka menuju keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Aku inti ucap syukur mereka yang tidak akan pernah berubah, karena aku pewaris pertama dari perjuangannya. Aku adalah puteri sulung untuk mencegah perselisihan antara generasi penerusnya. Aku permanen dalam status, tidak berubah dalam kondisi apa pun, tetap menjadi sulung.

Aku adalah keceriaannya dalam sedih, bingung, dan kondisi sulit apa pun. Aku pun penjaga keduanya dari sikap putus asa. Karena aku dianugerahkan untuk menghidupkan fungsi semangatnya. Aku adalah bagian dari kesenangannya yang mendasar, tak berbatas. Memiliki sebagian  dari samudera cintanya yang dalam, luas, tak berombak. Desir tiap bait doa-doanya di sepertiga malam. Dan aku adalah keresahannya ketika jauh dari pandangan. Juga  air mata mereka dalam kerinduan dan harapan.
 
Aku adalah segelintir harapan untuk menjadi langit. Langit yang megah, istimewa, memiliki kekuatan besar serupa sempurna. Tak bernoda, indah dan menjadi satu keindahan untuk dimiliki. Luas dan menyimpan banyak rahasia. Bersih, biru dan berseri bersama awan yang berarak. Bersuka ria membentangkan diri seluas-luasnya, sebahagia-bahagianya, tak takut kehilangan sesuatu apa pun.
 
Aku adalah tunas yang lunak. Hanya akan tumbuh jika bersanding dengan sesuatu yang menguatkan. Aku adalah atom yang terus berputar mengikuti poros peralihan, semakin dekat dengan detik penghujung usia, begitu juga mereka. Satu yang aku khawatirkan, jika waktu tak berpihak pada aku dan mereka. Tak tergambar apa yang akan terjadi, jika hari mulai sunyi tanpa kabar dari keduanya dan ucapan terimakasih belum sempat aku desiskan. Sementara aku masih termangu menatap cita, belum mampu menggenggamnya untuk dipersembahkan. Kalimat rindu hanya bisa dititipkan lewat rentetan huruf hijaiyyah yang aku bacakan. Untuk bertemu pun hanya berlaku dalam mimpi yang terlempar di sudut ruang tanpa sadar. Saat semua kisah hanya bisa diresapi dalam kenangan, tentu hanya penyesalan yang bersahutan.
 
Sempat terfikir, akan seperti apa diriku tanpa mereka?. Sedangkan aku adalah pecandunya. Untuk apa juga aku dilahirkan?, jika tak mampu menjadi apa yang mereka inginkan. Oh, itu semua bukan tuntunan yang ditanamkan cinta, bukan pula keutamaan. Aku dilahirkan dalam naungan agama yang beretika. Aku adalah kenyataan, bukan ilusi yang terhimpun dalam ingatan. Tentang ‘sebagai apa aku hadir?’ sudah termakna dalam ayatNYA “Inni jaa’ilun fi al-ardhi khalifah” (sesungguhnya AKU (ALLAH) akan menjadikan manusia khalifah di muka bumi). Maka, aku adalah kepingan dari wujud bala serdadu, tercipta untuk setia mengikuti ajaran yang diwariskan ALLAH kepada RasulNya.

Kamis, 17 Mei 2012

Not too crazy,,

Seperti apa aku nanti?. Biar ku simpulkan mulai hari ini.
Mengapa aku seperti ini?. Bagaimana jika nasib berkata lain?.
Akankah aku lebih terpuruk? Atau terus menganggap dunia bisa ditaklukan?

Bukan karena kurang perhatian semesta. Bukan juga karena ketidak adilan dunia. Masih karena keterampilan nakal masa remaja. Habis dikuasai gengsi. Rengkuh mengabdi pada kebohongan pribadi lain. Memilih alur diluar batas kesanggupan. Mengabaikan do'a dan penantian orang tua. Mengagumi alam angan yang ditawarkan pribadi lain. Menganggap kebaikan hidup ditengah nuansa bersama pribadi lain.
Sejauh itu aku melangkah. Hidup mempertaruhkan nilai. Berakhir dengan usai tanpa mengembalikan nilai.

Kesadaran memang selalu datang terlambat. Karena ingin disemat sebagai penyelamat.
Tapi tidak bagiku. Kesadaran tidak lebih dari penghianat. Meninggalkan doa jauh sebelum raga ini terbiar dihinakan.

Tentang "siapa pribadi itu?", cukup mengenalnya sebagai pengantar mimpi buruk.
Hidup dengan sisa bening pun aku bersyukur. Tidak sampai pada titik lupa diri.
Aku mulai belajar memahami arti harga diri. Setelah kian lama aku hidup dalam kebodohan.

Sabtu, 05 Mei 2012

Post to Sampan..

Going on terlupakan, sikap egois hanya berpihak pada ketidakpastian. 
Sulit bagiku untuk berpesan pada masa depan, bahwa tidak ada istilah penyesalan,
atau pun penyesuaian dengan keadaan.

CUKUP,,!!!!!
Bukan berarti harus aku bawa sampai 'kapan', karena ini akan membuatku lebih sangat tidak berarti.
Sementara, pundak letih memikul titipan 'semoga'.
Sampai pada akhirnya, sekarang tetap saja menjadi titisan 'perkara'.

Lebih baik aku berbicara pada sampan
Sampan..!!
Yuk kita beranjak dari kesan tak berdamai..

Senin, 30 April 2012

UJIAN vs INGIN PULANG


Seperti hari yang menanti sinar mentari, aku murung dalam tempurung kerinduan. 
Menghitung hari hingga penghujung bulan penghabisan. 
Kapan saatnya tiba?. 
Mampukah aku meraih kemenangan atas perjuangan melawan kerinduan?.

Didepan layar aku berperan menjadi periang. Merayu teman-teman ikut tertawa riang. Membiaskan beban yang sedang bersandar. Seakan aku jauh dari bayang 'pulang'. 
Sebenarnya aku sakit, tahu kenapa?. 
Aku terpasung 'rindu kepalang'. Nafas pun tersendat oleh ingatan tentang mimpi semalam. 
Lama aku bahagia dalam mimpi, bangun pagi pun aku enggan. Karena disana aku bertemu keluarga. Aku menjadi ratu kebanggaan.
Aku, seorang anak sulung yang dirindukan dan disayang keluarga, kembali ke pangkuan mereka, di rumah bahagia akhirnya kami bisa bersama jua. 
Bukan sebatas itu, aku pun kembali menyapa keluarga kedua. Sama seperti kenyataan setahun yang lalu, dalam mimpi itu aku menjadi putri yang dinanti, disambut dengan juta rasa rindu dan kasih dari mereka. 
Layak bagian dari keluarga mereka, aku sangat baik diperlakukannya. 
Subhanallah wal hamdulillah, tak henti bibir ini melenturkan kalimat pujian bagi ALLAH.

Sekuat apa pun aku bertahan dalam mimpi semalam, tidak mejadikan aku ikhlas dengan rindu. Tetap saja beban ini membuncah hingga menggerogoti keteragaran. Sunting menangis, karena aku masih berhadapan dengan 'ingin pulang'.

Sekitarku, jadwal ujian sudah menjadi kepastian, dalam sekejap aku akan bertemu hari-hari yang menegangkan. Duduk dalam ruang penentuan, apakah aku lolos atau harus kembali mengulang materi yang diujikan?. Dan ini bukan bayangan, namun hasil yang tidak bisa diprediksikan. Ini nyata, bukan  tebak-tebakan. Nah, gimana tuh, masih mau jadi budak si murung?

Yaa,, Bukan saatnya aku menghabiskan waktu untuk merenungi kerinduan. Sebenarnya saat ini sedang mengantar aku untuk sampai pada saat yang dinanti. Semua akan berakhir pada kemenangan. Jadi, kesempurnaan yang akan di dapatkan, tak mesti hancur karena keinginan saat ini yang tidak bisa dihindari. Nafikkanlah, bersabarlah, bergeraklah untuk mewujudkan doa dan usaha segenap keluarga tercinta.

Aku harus belajar mencintai apa adanya aku sekarang.
Aku harus berusaha mencintai keadaan sebenarnya sekarang.
Aku harus lebih mencintai masa depan yang sudah aku rancang.
Aku harus menikmati gejala besar dan kecil yang sedang dan akan menyentuh perjalanan.

Selasa, 24 April 2012

Bukan Say Good Bye..

Mustahil..
Jika aku mengingkari kebenaran pilihan hati.
Hanya,, mungkin untuk sekarang, sebelum aku dilegalkan. Akan ku nafikkan pelbagai rasa.
Baik itu  harapan, ketulusan, keikhlasan dan juga rasa kagum yang mengarah.

Jauh di balik nalar anganku,,
ada aroma yang meyakinkan bahwa rasaku akan nyata, dan KITA kelak akan bersama.

Aku tahu,,, Tuan..
memang berat bagimu mengungkapkan kebenaran rasa.
Sebenarnya, kamu pun sama seperti halnya aku, memiliki itu.
Hanya saja, kamu belum mampu meng-ikrarkan janji sebagai bukti rasamu.
Tuan,, aku mengerti..

Biarkan aku hidup untuk menantimu Tuan,,
Aku kuat bertekad dengan penantian,
Tanpa merasa lelah.
Karena...
Aku tahu,,KITA masih setia pada naluri dan perasaan

Maafkan aku Tuan..!!
langkahku sekarang akan membunuh kebersamaan.
Saja, aku ingin menjaga hakikat fitrahnya cinta
Tak ingin menodai bahkan merubah wujudnya jadi bangkai bernyawa.
Karena, semakin KITA dekat dan rapat dalam pertemuan, cinta itu semakin samar.
Seperti apa yang selalu kamu katakan :
Jangan sampai kita sulit membedakan, apakah ini cinta atau nafsu?

Sementara aku ingin menjadi asing di hadapanmu.
Namun, kamu selalu indah dalam doa-doaku, Tuan..
Biarlah rindumu ku sapa lewat bisikan tak bernada.

Atas nama ajaran dan kesucian, ku pilihkan JARAK sebagai penghubung jalan KITA.
Sampai jumpa Tuan,, di masa pelepasan kesendirian nanti.

Berdayu karena rindu


Malam itu, aku berkisah tanpa bicara. Hanya mengerutkan dahi dan menundukkan kepala. Mataku sebam karena air mata. Dan dadaku semakin sesak mengatur nafas.
Kemudian,,Ibu mengizinkan aku bicara kenyataan. Dia mendengar, dan tak henti mengikuti cerita yang aku paparkan.
Semestinya aku mengerti, gumpalan dan beku hati tak harus aku ceritakan. Tapi, aku bukan wanita dewasa yang bijak mengambil keputusan.

Tambat hatiku dipelihara oleh keraguan. Pilihan yang dihadapi, yaitu peluang dan keinginan.
Keduanya tidak bisa aku tinggalkan. Keduanya ingin aku kendalikan,,
Namun, tak mungkin aku padukan.
Ibu mengerti tentang apa yang aku dendangkan. Dan ibu menemukan pencerahan untuk mengobati resah hatiku. Hingga, aku jatuh cinta pada satu pesan sebelum ia menutup percakapan.
Lihatlah betapa luasnya kuasa ALLAH, tidak ada sesuatu pun di luar kekuasaanNYA, berbaktilah untuk meraih ridho ALLAH semata. Tentukan pilihan pada apa yang membuat orangtua bangga dan senang.

Memar wajahku, seakan dilempar bebatuan.
Shalatku, Ibadahku selama ini kemana?.
Sekedar menyadari kekuasaan dan pencapaian ridha ALLAh saja mesti di ingatkan oleh Ibu.


Mamah,,nobatkan aku sebagai anak solehah hingga penutup usiaku.
Merindukanmu mamah, andai saja aku bisa melewati untaian bukit dan samudera dengan sekeping logam. Akan ku jemput dan tempatkan mamah disampingku saat ini.