Mari sejenak untuk mengalah
Sebentar saja
Yakin,,
Ini tidak akan terlalu payah
Tinggalkan fana, duhai..!!
Ambil aroma bernyawa
Karena ku tahu
Kebenaran lah yang kamu butuhkan
Bukan ngeri karena ketakutan
Mengapa harus lupa?
Siapa itu Pencipta
Kokoh saja upaya demi kepentingan
Acuh,,
Dan menentang sabda
Ingin segalanya?
Yang seperti apa?
Percayalah,!!
Kamu akan selamat
Ketika berjanji sampai waktu
Selamanya untuk mengabdi
Dengan kesungguhan
Dan inilah sebenar dari segalanya
Jumat, 30 Maret 2012
Rabu, 28 Maret 2012
USAI
Aku bukan manusia sebangsa setan,
seperti KAMU wahai PENGKHIANAT kebersamaan.
Pun melupakan bukan rangkaian yang menyulitkan,
karena KAMU tlah membina perselingkuhan.
Mataku tak elok melihat keanggunanmu,
lenyap seketika dalam dusta yang selalu KAU puja.
Harummu bukan lagi wanita,
tak ubahnya bisa ular pemusnah nyawa.
Wahai wanita penghamba dusta..!!!
Sembah lukaku sebelum KAU mengabdi pada derita,
Jangan sombong, berlaku lugu tak peduli dengan dosa.
Pura tak berdaya, seolah air mata penebus semua bencana.
Ingat..!!!!!!!!!!
Silam itu sudah ku hapus.
Kini, KITA hanya kenangan sebuah untaian,
Kamu adalah sang MANTAN, bagi aku pemuja persahabatan.
Tak ada kesatuan seperti dulu yang pernah tayang.
Layak belaian, yang usam kala usai.
Begitulah KITA yang hilang dalam kebusukan.
Kamis, 15 Maret 2012
cekat dalam kosong
Air
mata terus berpesta. Merayakan kemenangan atas retak hati yang mengular. Tuan,
tak seorang pun tau betapa tersiksanya aku, yang ingin tetap terpegang erat di tempat itu,
menyilang percakapan merdu bersamamu tuan. Sudah aku membuat sudut
sebuah pemahaman, untuk mengerti bahwa belahan jiwamu bukan lagi aku. Telah
terganti dan membawamu pergi. Tapi, seketika mataku menyemburkan larva
tak berdamai. Bagaimana mungkin ku sembunyikan murka, nyata kau tiada tanpa
sapa, meninggalkan secarcik janji merah jambu untuk ku hisap di batas antara
dunia dan mimpi. Mengapa kau mudah
berlalu dan begitu tuan. Tanpa tahu, alasan merenggutmu dari genggaman,
pun belum sempat kau tanya dengan siapa aku mau, lantas kau paksa
aku sendiri hingga penghujung hari ini.
Aku bertahan memejam mata, ingin menebus kerinduan kebersamaan denganmu tuan. Mungkin aku bukan wanita biasa yang anggun dalam penantian. Aku selalu bicara pada sepi, dan mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali. Aku pun hijau memeluk ingatan tentang birumu, mengikuti jejak tatapan matamu yang teduh bermain di setiap ceria. Kamu memang istimewa tuan, ditetapkan sebagai pemuncak sebenar lelap. Dengan wewangian khas malammu, kau sempat semat aku pada tautan bersimpa seprai. Dan aku luruh menikmati bisikan keteguhanmu, yang meyakinkan aku, bahwa aku selalu ada pada jiwa yang berbisik.
Lalu
fikiranku melambung jauh pada suatu malam. Di kotamu aku tiba, berdiri diantara
penumpang yang berkeliaran. Dimana aku menunggu kamu yang sejati temani aku
dalam telepon genggam. Lama aku terpaku di bawah gerimis dan kegelapan yang
perlahan menghilangkan nyaliku untuk sendiri. Berulang- ulang aku menoleh ke
arah berlawanan, mengharap sosok yang sudah lama aku tunggu. Tak ku sangka
lambaian tangan dari kejauhan menarik aku untuk menghampirinya. Pertemuan itu
nyata, jantungku berdegup kencang. Yakin itu bukan lagi ilusiku yang selalu
bermimpi untuk bertemu. Aku gugup bicara kenyataan, dan kamu terlihat gemetar
tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Kita tidak saling bicara, hanya
saling mengerdipkan kelopak mata memuja keindahan pertemuan pertama kita. Supra
roda dua, saksi perjalanan pertama. Perlahan gugupku mencair, kemudian dengan
leluasa kamu mencari tau apa inginku. Hingga kita singgah ke sebuah tempat
untuk menikmati sate ayam. Tak ada kalimat saling memuji, bersama sudah cukup
bukti apa itu keindahan.
Tuan, aku
tahu itu hanya lamunku dalam kosong. Laku luguku kala rindu. Lihat tuan, warna
merah sudah diujung senja, dan semburat jingga mulai meniup di ujung cakrawala.
Aku harus kembali berwisata di kota kehilangan tanpa kebersamaan. Aku
harus kembali ke medan pemisah masa depan. Menggunting ranting harapan,
biarkan masa lalu hanya bisa memandang dan bersandar pada ranting yang
sudah lama kau tanam. Tuan, aku kan terus memusatkan lamunan pada cahaya dan
terlentang menatap angkasa. Bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi,
agar bisa bersua dalam kosong sejati.
Minggu, 04 Maret 2012
Penantian
Tak cukup menanti tanpa mencari
untuk sampai pada ikatan sejati
Dimana kiranya akhir pelayaran ini?
payah sudah peluhku mencari
jelajahi samudera barat hingga kembali ke tepi
utara selatan tak luput aku selami
demi keteguhan haati untuk tidak bermain api
Haruskah kembali aku menjajaki
buaian rasa dari lelaki tak tahu diri
lantas aku terkhianati
dan biarkan hati terlanjur duri
Tersesatkah engkau
mengapa tak kunjung menemui
please, beri aku satu isyarat
agar tetap tegak berdiri menanti
tak angkuh dalam harap tak pasti
Wahai jiwa yang selalu ku nanti
yakinkan aku untuk tetap disini
bersemi dengan kalam ILLAHI
menunggumu untuk memiliki
kelak kita bersama dalam cinta yang hakiki
Rabbi,, kesaksianMU dalam Ikrarku
_satu hati untuk jiwa yang ku nanti_
untuk sampai pada ikatan sejati
Dimana kiranya akhir pelayaran ini?
payah sudah peluhku mencari
jelajahi samudera barat hingga kembali ke tepi
utara selatan tak luput aku selami
demi keteguhan haati untuk tidak bermain api
Haruskah kembali aku menjajaki
buaian rasa dari lelaki tak tahu diri
lantas aku terkhianati
dan biarkan hati terlanjur duri
Tersesatkah engkau
mengapa tak kunjung menemui
please, beri aku satu isyarat
agar tetap tegak berdiri menanti
tak angkuh dalam harap tak pasti
Wahai jiwa yang selalu ku nanti
yakinkan aku untuk tetap disini
bersemi dengan kalam ILLAHI
menunggumu untuk memiliki
kelak kita bersama dalam cinta yang hakiki
Rabbi,, kesaksianMU dalam Ikrarku
_satu hati untuk jiwa yang ku nanti_
Sabtu, 03 Maret 2012
Tentang Ada
Jauh sebelum riwayat
samar dibalut debu lamat,
Aku adalah padang yang semi,
kamu angin yang mengaliri.
Ingat suatu masa yang putih,
Hari dengan kekuatan jejak
dalam kagum aku menjadi tawanan,
Lugu berdebar mengenggam tangan
ketika bulan tiba di musim penghujan,
kita sejati, abadi menanti sinar matahari
Diam, kita disudut beku
Memutar jam tangan
Menebak istilah yang kita harapkan
Namun Ingatan hanyalah jarak,
pemisah detik ini dengan tentang
catatan kalender empat tahun silam
Potret kita yang berdenting setiap malam,
Jelmaan sepasang burung dara
Hidup sederhana dalam tawa.
Langganan:
Postingan (Atom)