Air
mata terus berpesta. Merayakan kemenangan atas retak hati yang mengular. Tuan,
tak seorang pun tau betapa tersiksanya aku, yang ingin tetap terpegang erat di tempat itu,
menyilang percakapan merdu bersamamu tuan. Sudah aku membuat sudut
sebuah pemahaman, untuk mengerti bahwa belahan jiwamu bukan lagi aku. Telah
terganti dan membawamu pergi. Tapi, seketika mataku menyemburkan larva
tak berdamai. Bagaimana mungkin ku sembunyikan murka, nyata kau tiada tanpa
sapa, meninggalkan secarcik janji merah jambu untuk ku hisap di batas antara
dunia dan mimpi. Mengapa kau mudah
berlalu dan begitu tuan. Tanpa tahu, alasan merenggutmu dari genggaman,
pun belum sempat kau tanya dengan siapa aku mau, lantas kau paksa
aku sendiri hingga penghujung hari ini.
Aku bertahan memejam mata, ingin menebus kerinduan kebersamaan denganmu tuan. Mungkin aku bukan wanita biasa yang anggun dalam penantian. Aku selalu bicara pada sepi, dan mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali. Aku pun hijau memeluk ingatan tentang birumu, mengikuti jejak tatapan matamu yang teduh bermain di setiap ceria. Kamu memang istimewa tuan, ditetapkan sebagai pemuncak sebenar lelap. Dengan wewangian khas malammu, kau sempat semat aku pada tautan bersimpa seprai. Dan aku luruh menikmati bisikan keteguhanmu, yang meyakinkan aku, bahwa aku selalu ada pada jiwa yang berbisik.
Lalu
fikiranku melambung jauh pada suatu malam. Di kotamu aku tiba, berdiri diantara
penumpang yang berkeliaran. Dimana aku menunggu kamu yang sejati temani aku
dalam telepon genggam. Lama aku terpaku di bawah gerimis dan kegelapan yang
perlahan menghilangkan nyaliku untuk sendiri. Berulang- ulang aku menoleh ke
arah berlawanan, mengharap sosok yang sudah lama aku tunggu. Tak ku sangka
lambaian tangan dari kejauhan menarik aku untuk menghampirinya. Pertemuan itu
nyata, jantungku berdegup kencang. Yakin itu bukan lagi ilusiku yang selalu
bermimpi untuk bertemu. Aku gugup bicara kenyataan, dan kamu terlihat gemetar
tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Kita tidak saling bicara, hanya
saling mengerdipkan kelopak mata memuja keindahan pertemuan pertama kita. Supra
roda dua, saksi perjalanan pertama. Perlahan gugupku mencair, kemudian dengan
leluasa kamu mencari tau apa inginku. Hingga kita singgah ke sebuah tempat
untuk menikmati sate ayam. Tak ada kalimat saling memuji, bersama sudah cukup
bukti apa itu keindahan.
Tuan, aku
tahu itu hanya lamunku dalam kosong. Laku luguku kala rindu. Lihat tuan, warna
merah sudah diujung senja, dan semburat jingga mulai meniup di ujung cakrawala.
Aku harus kembali berwisata di kota kehilangan tanpa kebersamaan. Aku
harus kembali ke medan pemisah masa depan. Menggunting ranting harapan,
biarkan masa lalu hanya bisa memandang dan bersandar pada ranting yang
sudah lama kau tanam. Tuan, aku kan terus memusatkan lamunan pada cahaya dan
terlentang menatap angkasa. Bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi,
agar bisa bersua dalam kosong sejati.
subhanallah..... ^^
BalasHapussuper sekali tulisan ini :))
super mie mbak yuu.. :P
BalasHapus