Kamis, 15 Maret 2012

cekat dalam kosong


           
Air mata terus berpesta. Merayakan kemenangan atas retak hati yang mengular. Tuan, tak seorang pun tau betapa tersiksanya aku, yang  ingin tetap terpegang erat di tempat itu, menyilang percakapan merdu bersamamu tuan. Sudah aku membuat sudut sebuah pemahaman, untuk mengerti bahwa belahan jiwamu bukan lagi aku. Telah terganti dan membawamu pergi. Tapi, seketika mataku menyemburkan larva tak berdamai. Bagaimana mungkin ku sembunyikan murka, nyata kau tiada tanpa sapa, meninggalkan secarcik janji merah jambu untuk ku hisap di batas antara dunia dan mimpi.  Mengapa kau mudah berlalu dan begitu tuan. Tanpa tahu, alasan merenggutmu dari genggaman, pun belum sempat kau tanya dengan siapa aku mau, lantas kau paksa aku sendiri hingga penghujung hari ini.

Aku bertahan memejam mata, ingin menebus kerinduan kebersamaan denganmu tuan. Mungkin aku bukan wanita biasa yang anggun dalam penantian. Aku  selalu bicara pada sepi, dan mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali. Aku pun hijau memeluk ingatan tentang birumu, mengikuti  jejak  tatapan matamu yang teduh bermain di setiap ceria. Kamu memang istimewa tuan, ditetapkan sebagai pemuncak sebenar lelap. Dengan wewangian khas malammu, kau sempat semat aku pada tautan bersimpa seprai. Dan aku luruh menikmati bisikan keteguhanmu, yang  meyakinkan aku, bahwa aku selalu ada pada jiwa yang berbisik.

Lalu fikiranku melambung jauh pada suatu malam. Di kotamu aku tiba, berdiri diantara penumpang yang berkeliaran. Dimana aku menunggu kamu yang sejati temani aku dalam telepon genggam. Lama aku terpaku di bawah gerimis dan kegelapan yang perlahan menghilangkan nyaliku untuk sendiri. Berulang- ulang aku menoleh ke arah berlawanan, mengharap sosok yang sudah lama aku tunggu. Tak ku sangka lambaian tangan dari kejauhan menarik aku untuk menghampirinya. Pertemuan itu nyata, jantungku berdegup kencang. Yakin itu bukan lagi ilusiku yang selalu bermimpi untuk bertemu. Aku gugup bicara kenyataan, dan kamu terlihat gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Kita tidak saling bicara, hanya saling mengerdipkan kelopak mata memuja keindahan pertemuan pertama kita. Supra roda dua, saksi perjalanan pertama. Perlahan gugupku mencair, kemudian dengan leluasa kamu mencari tau apa inginku. Hingga kita singgah ke sebuah tempat untuk menikmati sate ayam. Tak ada kalimat saling memuji, bersama sudah cukup bukti apa itu keindahan.


Tuan, aku tahu itu hanya lamunku dalam kosong. Laku luguku kala rindu. Lihat tuan, warna merah sudah diujung senja, dan semburat jingga mulai meniup di ujung cakrawala. Aku harus kembali berwisata di kota kehilangan tanpa kebersamaan. Aku harus kembali ke medan pemisah masa depan. Menggunting ranting harapan, biarkan masa lalu hanya bisa memandang dan bersandar pada ranting yang sudah lama kau tanam. Tuan, aku kan terus memusatkan lamunan pada cahaya dan terlentang menatap angkasa. Bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bisa bersua dalam  kosong sejati.

2 komentar: